Toko Kelontong Didatangi Petugas Pajak, Mari Pahami Lebih Dalam Kewajiban Perpajakannya!

Dasar Hukum

Abstraksi

TAXSAM.CO - Sejumlah petugas Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di beberapa daerah Sulawesi melakukan kegiatan pengumpulan data lapangan (KPDL) kepada para pemilik usaha, salah satunya toko kelontong. Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-11/PJ/2020, KPDL dapat dilakukan melalui teknik pengamatan potensi pajak, tagging, pengambilan gambar, dan/atau wawancara. Para petugas KP2KP tersebut melakukan wawancara secara langsung dengan pertanyaan yang berfokus pada omzet usaha, status kepemilikan tempat usaha, dan pelaporan SPT Tahunan. Hal ini betujuan untuk memberikan edukasi pemahaman perpajakan sekaligus memperluas basis data perpajakan yang dapat digunakan untuk menggali potensi pajak. 

Apakah Toko Kelontong Harus Bayar Pajak?

Toko kelontong merupakan toko yang menjual berbagai macam  kebutuhan sehari-hari. Toko kelontong termasuk dalam unit Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah (UMKM). UMKM merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan dan atau Badan Usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan serta sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Oleh karena itu, perlakuan pajak untuk toko kelontong pun mengikuti skema aturan perpajakan untuk UMKM pada umumnya.

Bagi toko kelontong dengan total omzet kurang dari Rp4,8 Miliar dalam satu tahun pajak, Selanjutnya, tarif yang dikenakan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 adalah PPh Final sebesar 0,5%. Kebijakan ini berlaku bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dengan jangka waktu 7 tahun, bagi Wajib Pajak Badan berbentuk koperasi, komanditer, atau firma dengan jangka waktu 4 tahun, dan bagi Wajib Pajak Badan berbentuk perseroan terbatas (PT) dengan jangka waktu 3 tahun.

Terdapat kebijakan baru dalam Pasal 7 ayat 2a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP) yang mengatur bahwa terdapat peredaran bruto tertentu tidak dikenai pajak penghasilan atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak. Oleh karena itu, kini bagi usaha toko kelontong Orang Pribadi dengan omzet di bawah Rp500 juta tidak perlu membyar pajak untuk UMKM.

Selanjutnya, bagi toko kelontong yang memiliki total omzet lebih dari Rp4,8 Miliar dalam satu tahun pajak, maka besaran pajak terutang untuk Orang Pribadi dihitung dengan menggunakan skema tarif progresif Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh). Sedangkan, untuk Badan menggunakan skema tarif PPh Badan yaitu sebesar 22% dan melakukan pembukuan sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP) serta dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai Pasal 31E Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh).

Apa yang Harus Dilakukan Untuk Memenuhi Kewajiban Perpajakannya?

Bagi pengusaha toko kelontong yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi, dapat menggunakan SPT Tahunan 1770 untuk pelaporan pajak. Dalam SPT Tahunan tersebut, terdapat lampiran yang perlu diisikan berupa rekapitulasi peredaran bruto dan fotocopy pembayaran PPh Final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 per Masa Pajak serta dari masing-masing tempat usaha sesuai dengan pembayaran pada masa tersebut.

Selanjutnya, bagi pengusaha toko kelontong yang merupakan Wajib Pajak Badan, dapat menggunakan SPT Tahunan 1771 untuk pelaporan pajak. Apabila peredaran usahanya masih di bawah Rp4,8 Miliar, maka perlu mengisi lampiran 1771-IV untuk rician penghasilan bruto tertentu yang dikenakan PPh Final. 


Oleh: Kayla Gitara, Tax Researcher Taxsam.co