TAX

Alur Rekonsiliasi Fiskal

Taxsam.co Team | 02 DEC 2022
Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021


Abstraksi

TAXSAM.CO - Laporan keuangan komersial yang disusun sesuai Standar Akuntansi Keuangan terkadang masih memiliki ketidaksesuaian dengan ketentuan pajak yang berlaku. Pasal 28 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 mengatur bahwa “pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.”. Ketentuan tersebut menjelaskan lebih lanjut bahwa pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain. 

Proses penyesuaian antara laporan keuangan komersial dan fiskal inilah yang disebut dengan rekonsiliasi fiskal. Perbedaan yang terjadi antara laporan komersial dan fiskal ini dapat terjadi karena dua perbedaan prinsip, yaitu:

1) Beda tetap
Beda tetap terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan atau biaya antara akuntansi komersial dan peraturan pajak yang berlaku yang bersifat permanen. Transaksi tersebut menurut peraturan pajak tidak dapat terhapus dengan sendiri pada periode selanjutnya, artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak dapat diperhitungkan dengan laba kena pajak nantinya.

Transaksi-transaksi yang dapat termasuk dalam beda tetap, seperti: 
  • Transaksi yang menurut standar akuntansi bukan termasuk beban, tetapi dalam ketentuan Pajak Penghasulan dapat menjadi beban atau biaya pengurang dalam menghitung penghasilan kena pajak (deductible expense). Ketentuan menganai hal ini diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan (UU PPh).
  • Transaksi yang menurut standar akuntansi dapat menjadi beban, tetapi dalam ketentuan Pajak Penghasilan tidak dapat menjadi beban atau biaya pengurang dalam menghitung penghasilan kena pajak(non-deductible expense). Ketentuan menganai hal ini diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan (UU PPh).
  • Transaksi yang menurut standar akuntansi merupakan pendapatan, tetapi dalam ketentuan Pajak Penghasilan merupakan penghasilan yang dikenai PPh final. Ketentuan menganai hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan (UU PPh).
  • Transaksi yang menurut standar akuntansi merupakan pendapatan, tetapi dalam ketentuan Pajak Penghasilan bukan merupakan objek PPh. Ketentuan menganai hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan (UU PPh).

2) Beda waktu
Beda waktu dapat terjadi karena adanya perbedaan waktu pengakuan penghasilan atau biaya antara akuntansi komersial dan peraturan pajak yang berlaku yang bersifat sementara. Transaksi tersebut memiliki kesamaan konsep pembiayaan yang sama antara akuntansi komersial dan peraturan pajak, yang membedakan hanya waktu alokasi biaya tersebut. Sehingga, koreksi fiskal yang dilakukan dapat diperhitungkan dengan laba kena pajak nantinya. 

Transaksi-transaksi yang dapat termasuk dalam beda waktu, seperti: 

  • Perbedaan metode penyusutan atau amortisasi yang digunakan antara laporan komersial dengan metode penyusutan yang diperbolehkan dalam ketentuan pajak. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 11 ayat (6) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan (UU PPh) untuk penyusutan harta berwujud, dan Pasal 11A ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan (UU PPh) untuk amortisasi harta tak berwujud.
  • Perbedaan perhitungan masa manfaat dan tarif penyusutan atau amortisasi yang ditetapkan antara laporan komersial dengan metode penyusutan yang diperbolehkan dalam ketentuan pajak. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan (UU PPh) untuk penyusutan harta berwujud, dan Pasal 11A ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan (UU PPh) untuk amortisasi harta tak berwujud.
  • Perbedaan pembebanan penyisihan kerugian piutang (Allowance for Bad Debts) untuk dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.010/2015
  • Dan sebagainya.

Rekonsiliasi fiskal atau koreksi fiskal dibagi menjadi dua jenis, yaitu koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif. Koreksi fiskal positif merupakan koreksi yang dapat menambah laba kena pajak atau mengurangi rugi fiskal. Koreksi fiskal positif dapat dilakukan misalnya pada biaya yang tidak dapat dibebankan atau nilai penyusutan/amortisasi komersial melebihi penyusutan/amortisasi fiskal. Sementara, koreksi fiskal negatif merupakan koreksi yang dapat mengurangi laba kena pajak atau menambah rugi fiskal. Koreksi fiskal negatif dapat dilakukan misalnya pada penghasilan yang bukan merupakan objek PPh, penghasilan yang dikenai PPh final, atau nilai penyusutan/amortisasi komersial kurang dari penyusutan/amortisasi fiskal.

Setelah mengetahui unsur-unsur serta jenis-jenis rekonsiliasi fiskal, selanjutnya kita dapat melakukan rekonsiliasi fiskal yang nantinya akan digunakan untuk menyusun laporan keuangan secara fiskal. Kertas kerja rekonsiliasi fiskal selanjutnya akan dilampirkan pada lampiran SPT Tahunan PPh Badan


Contoh Kasus
1) Pada laporan keuangan komersial PT. SAM, terdapat biaya sumbangan sebesar Rp500.000.000. Dalam keterangan rinciannya, biaya sumbangan tersebut terdiri dari sumbangan untuk kegiatan buka puasa bersama kepada Masjid Al-Ikhlas sebesar Rp125.000.000.000 dan sumbangan untuk bencana di daerah Lombok yang telah sesuai dengan peraturan daerah sebesar Rp375.000.000

→ Ketentuan mengenai biaya sumbangan yang diperbolehkan untuk menjadi biaya penghasilan netto fiskal utamanya diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010. 

→ Sumbangan untuk kegiatan buka puasa bersama kepada Masjid Al-Ikhlas tidak sesuai dengan ketentuan biaya sumbangan yang diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto. Dalam hal sosial, biaya yang boleh menjadi pengurang bruto adalah biaya untuk membangun sarana dan pra sarana infrstruktur sosial. Sehingga, atas sumbangan untuk kegiatan buka puasa bersama kepada Masjid Al-Ikhlas dilakukan koreksi fiskal positif.

→ Selanjutnya, sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah boleh menjadi biaya yang dibolehkan menjadi pengurang. Sehingga, atas sumbangan bantuan bencana ke daerah Lombok dapat dibiayakan menjadi pengurang penghasilan bruto fiskal.

Biaya Sumbangan → Rp500.000.000
1) Sumbangan  untuk kegiatan buka puasa bersama kepada Masjid Al-Ikhlas → Rp125.000.000
2) Sumbangan untuk bencana di daerah Lombok yang telah sesuai dengan peraturan daerah → Rp375.000.000
Koreksi Fiskal Positif → Rp125.000.000 (atas sumbangan  untuk kegiatan buka puasa bersama kepada Masjid Al-Ikhlas)

2) Selain itu, pada laporan keuangan komersial PT. SAM juga terdapat data penyusutan harta berwujud, di mana terdapat bangunan pabrik dengan harga perolehan sebesar Rp3.000.000.000. Disebutkan bahwa bangunan pabrik tersebut diperoleh pada 1 Januari 2021 dan memiliki umur komersial 15 tahun. 

→ Ketentuan penyusutan bangunan pabrik diatur dalam Pasal 11 ayat (6) UU No. 36 Tahun 2008. Berdasarkan ketentuan Pajak Penghasilan, kelompok harta berwujud berupa bangunan permanen hanya bisa disusutkan dengan metode straight line method dengan masa manfaat 20 tahun, sehingga tarif penyusutannya adalah 5% per tahun. Sehingga, terdapat perbedaan perhitungan pembebanan penyusutan atas bangunan pabrik tersebut antara komersial dan fiskal dan memerlukan adanya koreksi fiskal sejumlah selisih antara kedua nilai penyusutan tersebut.

→ Atas perbedaan tersebut, PT. SAM dapat membuat rekonsiliasi fiskal sebagai berikut:

Penyusutan secara komersial → Perhitungan depresiasi per tahun:  Rp3.000.000.000 / 15 Tahun → Nilai depresiasi tahun 2021: Rp200.000.000
Penyusutan secara fiskal → Perhitungan depresiasi per tahun: Rp3.000.000.000 / 20 Tahun → Nilai depresiasi tahun 2021: Rp150.000.000
Koreksi Fiskal Positif → Rp50.000.000 (atas selisih nilai penyusutan secara komersial dan fiskal)


Oleh: Kayla Gitara, Tax Researcher Taxsam.co



You may also like

TAX

PPN atas Pembelian Agunan : Apa, Bagaimana, dan Dampaknya terhadap Wajib Pajak?

Taxsam.co Team | 29 SEP 2023

TAX

Terima Fasilitas Kesehatan dari Kantor Kena Pajak Nggak, Ya?

Taxsam.co Team | 22 SEP 2023

TAX

Pajak Judi Online di Indonesia? Mungkin Nggak, Sih?

Taxsam.co Team | 22 SEP 2023