Pajak dan Retribusi Daerah akan diintervensi Pemerintah Pusat mulai tahun 2021

Mulai tahun 2021, Pemerintah pusat (pempus) akan mengintervensi mekanisme pungutan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Nantinya pempus akan menyesuaikan tarif bahkan menghapus jenis PDRD. 

Rencana tersebut tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang PDRD. Aturan ini merupakan karpet merah untuk proyek strategis nasional (PSN).

PSN merupakan adalah proyek-proyek infrastruktur Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dianggap strategis. 

Sehingga dengan aturan terbaru ini, pempus berharap bisa semakin minimalisir biaya infrastruktur PSN. PSN ini diperkirakan bisa memotong cost logistik, sehingga mampu mendorong perekonomian dalam negeri.    

Asisten Deputi Moneter dan Sektor Eksternal Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian Ferry Irawan menyampaikan fokus kebijakan  PDRD dirancang hanya untuk PSN, untuk tidak terlalu membebani fiskal daerah.

68901-ilustrasi-pajak-dok-istimewa.jpg 16.9 KB

Lima Point Kebijakan PDRD

Ferry menginformasikan ada lima poin penting pengaturan kebijakan PDRD yang tertuang dalam beleid turunan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.


Pertama
Pertama, penghapusan retribusi izin gangguan. Tujuannya untuk mendukung kemudahan berusaha. Pemerintah menilai pungutan ini sudah tidak relevan saat ini.

Kedua
Kedua, penyesuaian tarif PDRD oleh pempus yang nantinya ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) atas usulan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait dan sektoral yang bertanggung jawab atas PSN.

Perpres ini akan mengatur jenis pajak dan retribusi, besaran penyesuaian tarif, hingga tenggat waktu berlakunya kebijakan PDRD.

Maka pemerintah menerbitkan perpres penyesuaian tarif, ini yang menjadi acuan (pemda) waktu memungut PDRD di daerah tersebut. Memang ada implikasi ke penerimaan daerah makanya kita batesin ke PSN saja, ada list proyeknya,” ujar Ferry dalam acara bertajuk Menjaga Momentum Pemulihan Ekonomi Nasional Melalui Peningkatan Kinerja Sektor Keuangan dan Investasi, Kamis (17/12).

Ketiga
Ketiga, pemberian insentif fiskal oleh daerah dalam mendukung kemudahan berinvestasi. Terkait hal ini gubernur/walikota/bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.

Pemberian insentif fiskal sebelumnya ditetapkan dengan peraturan daerah (perda), namun dengan UU 11/2020 diubah pemberian fiskal diatur oleh peraturan kepala daerah.

Keempat
Keempat, perbaikan mekanisme evaluasi raperda dan pengawasan perda. Evaluasi raperda dilakukan tidak hanya untuk menguji kesesuaian raperda dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi juga menguji kesesuaian dengan kebijakan fiskal nasional.

Jika sebelumnya perda hanya dievaluasi oleh Menteri Dalam Negara (Mendagri), nantinya Menteri Keuangan (Menkeu) ikut melakukan pengawasan atas perda dan peraturan pelaksananya. 

Apabila perda dan peraturan pelaksananya tidak sesuai dengan RPP PDRD maka Menkeu dan Mendagri meminta kepada Kepala Daerah untuk melakukan perubahan.

Ferry menuturkan kebijakan baru tersebut tidak dipungkiri akan menganggu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Terlebih, misalnya pempus meminta penyesuaian tarif atau pembebasan untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Nah, untuk memitigasi dampak fiskal daerah lebih jauh, kalau ada shortfall signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena penyesuaian tarif, di RPP ada support mekanisme APBN melalui Dana Alokasi Umum (DAU) atau lebih spesifik Dana Insentif Daerah (DID), atau bisa juga bentuk yang lain,” tutur Ferry.

Kelima
Kelima, RPP tentang PDRD pun akan mengatur sanksi untuk pemda yang melanggar ketentuan, yakni penundaan atau pemotongan DAU atau dana bagi hasil (DBH) sekitar 10%-15%.

Ferry menginformasikan saat ini RPP PDRD sudah siap, tinggal menunggu prosis harmonisasi yang paling lama pekan depan. Kemudian, dibawa ke Presiden RI Joko Wododo untuk meminta persetujuan akan bisa segera di implementasikan di awal 2021.