Pajak Karbon sebagai Upaya Mengatasi Isu Lingkungan

Isu lingkungan sebagai masalah global
Isu lingkungan bukan hanya menjadi masalah nasional, melainkan sudah menjadi permasalahan global. Negara-negara di dunia sudah kerap berunding mengenai langkah yang harus diambil dalam memerangi permasalahan lingkungan. Salah satu kebijakan yang banyak disepakati oleh anggota PBB adalah Paris Agreement. Paris Agreement merupakan pengganti dari Protokol Kyoto yang belum berhasil untuk mencapai target pengurangan emisi. Poin penting dari Paris Agreement adalah upaya membatasi atau menjaga kenaikan suhu di bawah 2 derajat Celcius dari tingkat pre-industri dan melakukan upaya untuk membatasinya hingga di bawah 1,5 derajat Celcius. Paris Agreement memberikan jalan dan kesempatan bagi negara-negara maju untuk membantu negara berkembang dalam upaya mitigasi dan adaptasi iklim serta menciptakan kerangka kerja untuk pemantauan, pelaporan dan penyesuaian yang transparan dari tujuan iklim negara dan kolektif negara.

Instrumen penetapan harga karbon telah diadopsi di 40 negara dan 24 instrumen tambahan telah diterapkan pada skala regional dan lokal. Pada tahun 2020, inisiatif ini menghasilkan pendapatan sebesar USD 53 miliar. Ada dua instrumen penetapan harga karbon utama yang sering diusulkan sehubungan dengan pembatasan emisi global: carbon trading dan pajakan karbon. Carbon trading dianut oleh Uni Eropa sejak awal 2000-an dengan tujuan mengurangi emisi di bawah tingkat tahun 1990. Meskipun ada beberapa keberhasilan dalam penetapan harga emisi gas rumah kaca, tetapi pengurangan emisi tidak tercapai.

Industri logam dan pertambangan global menyumbang sekitar 8% dari jejak karbon global. Pertambangan merupakan kontributor material untuk emisi karbon global, tetapi jika dibandingkan dengan kontribusi ekonomi industri, jejak emisinya kecil. Hampir 90% total emisi dari industri logam dan pertambangan berasal dari pembuatan besi dan baja. Aluminium dan baja adalah outlier untuk industri pertambangan. Sebagian besar jejak karbon dari produksi aluminium dihasilkan melalui listrik yang dipakai dalam produksi aluminium.
 
Pajak Karbon di Indonesia 
Pada perhelatan Paris Agreement, Indonesia turut menandatangani dan bersepakat dengan hal-hal yang diatur dalam rezim internasional tersebut. Indonesia berkomitmen mengurangi emisi GRK sebesar 29% tanpa syarat dan 41% dengan bantuan internasional. Selanjutnya, pada Oktober 2021 lalu, pemerintah Indonesia sudah mengesahkan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah diundangkan menjadi UU No. 7 tahun 2021. Salah satu kebijakan perpajakan yang ditambahkan adalah pegimplementasian pajak karbon. Pemerintah dalam rangka mencegah pemanasan global menerapkan pajak karbon yang bertujuan mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca. Hal ini ditempuh karena Indonesia menduduki peringkat ke-8 sebagai negara penghasil emisi terbanyak di dunia. Lewat penerapan pajak karbon, Indonesia bisa memitigasi perubahan iklim dan meningkatkan pendapatan negara. Dari sisi penerimaan, uang pajak karbon tersebut bisa dipergunakan untuk mitigasi perubahan iklim. Namun, penerapan pajak karbon akan berdampak pada perusahaan misalnya PLTU batu bara. Pajak karbon juga akan memengaruhi harga listrik sehingga masyarakat menengah ke bawah akan kesulitan mengaksesnya.


Sumber:
Nama Pengarang: Benjamin Cox, Sally Innis, Nadja C. Kunz, John Steen
Judul Artikel: The mining industry as a net beneficiary of a global tax on carbon emissions
Tahun Artikel: 2022
Publisher: Communication Earth & Environment