Apa yang Dimaksud dengan Pajak Penerangan Jalan?

Guna melaksanakan pembangunan yang mandiri, pemerintah daerah perlu didukung kemampuan keuangan yang baik. Salah satunya yakni dengan cara pemungutan pajak daerah secara optimal.

Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), dalam hal ini  pemerintah daerah memiliki kewenangan memungut beragam jenis pajak daerah.

Baca Juga: Beriklan di Media Sosial Ini Kena Pajak 10 Persen

Pajak tersebut diklasifikasikan menjadi pajak provinsi dan pajak kabupaten atau kota. Salah satu pajak yang menjadi kewenangan adalah pajak penerangan jalan (PPJ). 

Tapi istilah PPJ nampaknya kurang dimengerti oleh sebagian besar orang. Lantas, apakah yang dimaksud dengan PPJ? Apakah berkaitan dengan penerangan yang ada di sepanjang jalan?

Apa itu PPJ


Berdasarkan Pasal 1 angka 28 UU PDRD, yang dimaksud dengan pajak penerangan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.

Beradasarkan pedoman umum PDRD terbitan Ditjen Perimbangan Keungan, listrik yang dihasilkan sendiri itu meliputi seluruh pembangkit listrik, semisal bersumber dari genset.

Sementara itu yang dimaksud penggunaan sumber lain adalah listrik yang disediakan badan usaha ketenagalistrikan. Dalam hal ini, Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Baca Juga: Begini Cara Pemungutan Pajak Daerah

Contoh ril penggunaan tenaga listrik dalam kapasitas cukup besar yakni pusat perbelanjaan, hotel, gedung bertingkat, atau industri pabrik.

Secara umum, tenaga listrik di Indonesia disediakan oleh PLN, sehingga PLN berhak memungut PPJ berdasarkan kapasitas jumlah konsumsi listrik pelanggan PLN.

Nantinya, pajak yang dipungut PLN tersebut akan disetorkan pada pemerintah daerah. Pajak tersebut tercakup dalam struk tagihan listrik dari PLN, sudah termasuk pembebanan atas pungutan PPJ.

Aturan dasar hukum PPJ


Merujuk Pasal 56 ayat (2) UU PDRD PPJ terutang dipungut di wilayah daerah tempat penggunaan tenaga listrik.

Kemudian, berdasarkan Pasal 56 ayat (3) menyatakan hasil penerimaan PPJ sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.

Pemungutan PPJ atas penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri ini, sempat dipersoalkan


Untuk itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pun sempat mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi Atas Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) Pasal 52 ayat (2), dan Pasal 55 ayat (3) UU PDRD.

Apindo beralasan, perusahaan yang menggunakan generator untuk kegiatan produksi merupakan cara lain karena kurangnya PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik industri.

Namun, PPJ atas penggunaan listrik yang dihasilkan sendiri ini sangat membebani dunia usaha, sebab membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pengoperasiannya.

Hasil pengajuan


Dalam permohonan, Apindo menyatakan jika perusahaan itu seharusnya diapresiasi bukan justru dibebankan PPJ.

Asosiasi ini juga mengatakan, seharusnya pengenaan PPJ hanya terbatas pada penggunaan listrik dari negara dan digunakan untuk kegiatan nonproduksi.

Atas pengajuan itu, MK memiliki alasan konstitusionalitas berbeda. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XV/2017 permohonan Apindo dikabulkan sebagian.

Hakim Konstitusi memandang penggunaan terminologi 'pajak penerangan jalan' dalam UU PDRD membingungkan.

Pasalnya, frasa 'penerangan jalan' pada PPJ dinilai ambigu apakah itu merujuk pada objek pajak atau alokasi pembelanjaan dana dari pengenaan pajak.

Berkenaan dengan pemajakan penggunaan listrik produksi sendiri, MK memandang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Maka dari itu, MK memerintahkan pembentuk UU dalam waktu paling lama 3 tahun sejak putusan diucapkan melakukan perubahan terhadap UU PDRD.

Hal itu berkenaan dengan pengenaan pajak terhadap penggunaan listrik baik yang dihasilkan sendiri maupun yang dihasilkan sumber lain selain PLN.