HUMAN DEVELOPMENT
Artificial Intelligence (AI) di Lingkup Seni
Sejak dimulainya keterlibatan AI dalam proses berkesenian, dunia seni dihadapkan dengan
pertanyaan yang memancing diskursus panjang tak berkesudahan: apakah karya yang dihasilkan
oleh AI, kendatipun diproses sepenuhnya oleh AI, dapat diakui sebagai karya seni? Bagi para
artisan, mesin yang dianggap tak berjiwa dan tidak memiliki emosi seperti manusia tidak punya
tempat untuk menggantikan pekerjaan mereka.
Senada dengan pendapat ini, sebagian orang menganggap bahwa seni tidak selalu
bergantung pada apa yang didapatkan oleh audiens ketika mengapresiasinya. Dalam salah satu
artikel di Medium, yang menjadikan seni dapat dianggap seni adalahketika dalam karya tersebut
dapat dilacak jejak-jejak ide dan intensi manusiawi yang menjadi bahan pembangun fondasinya.
Sebagai contoh, seorang pelancong tidak akan menganggap suatu bentang alam sebagai seni,
meskipun terasa indah dan memancing emosi ketika melihatnya. Keindahan tersebut bisa saja
memnatik ide dalam berkesenian, namun asal muasalnya yang tidak manusiawi membuat ia tak
dapat dianggap sebagai seni.
Pendapat lain menyatakan bahwa, tak berbeda dengan kuas atau ahat, keterlibatan AI di
dunia seni rupa tak lebih dari alat yang digunakan dalam proses berkensian seorang seniman.
Dengan kata lain, mereka yang terlibat dalam proses pembuatan AI itulah senimannya, dan apapun
yang dihasilkan oleh AI, atau bahkan AI-nya itu sendiri adalah karya dari para seniman tersebut.
Sebagai contoh, seorang penulis dan programmer, Ross Goodwin menggunakan AI untuk
membuat cerita fiksi, puisi, dan skenario film melalui algoritme yang memprediksi pola bahasa.
Salah satu bukunya yang berjudul “1 The Road” dibuat dengan memasukkan data visual,
gelombang suara, dan jejak lokasi untuk menyusun kisah perjalanan naratif. Goodwin menganggap
bahwa dalam kasus ini, pembacalah yang bertindak sebagai penulisnya sebab tulisan ini tidak
dihasilkan dari intensi manusiawi dan kerenanya pembaca dapat memproyeksikan makna dan rasa
berdasarkan interpretasinya masing-masing.
Terlepas dari diskursus yang masih terus bergulir, beragam penelitian dan eksperimen
masih terus dilakukna untuk menemukan sampai sejauh mana mesin dapat memfabrikasi
karakteristik yang diperlukan dalam menghasilkan sebuah karya seni. Paling tidak, seniman
seniman di masa yang akan datang perlu menyadari potensi penggunaan AI dalam proses berkesian
mereka. Lagipula, kendatipun mesin barangkali memang tak akan pernah dianggap menghasilkan
produk seni yang dianggap sebagai karyanya, menjaga relevansi dengan isu terkini adalah
keharusan bagi seniman, termasuk dengan melibatkan AI dalam proses berkesenian mereka.
pertanyaan yang memancing diskursus panjang tak berkesudahan: apakah karya yang dihasilkan
oleh AI, kendatipun diproses sepenuhnya oleh AI, dapat diakui sebagai karya seni? Bagi para
artisan, mesin yang dianggap tak berjiwa dan tidak memiliki emosi seperti manusia tidak punya
tempat untuk menggantikan pekerjaan mereka.
Senada dengan pendapat ini, sebagian orang menganggap bahwa seni tidak selalu
bergantung pada apa yang didapatkan oleh audiens ketika mengapresiasinya. Dalam salah satu
artikel di Medium, yang menjadikan seni dapat dianggap seni adalahketika dalam karya tersebut
dapat dilacak jejak-jejak ide dan intensi manusiawi yang menjadi bahan pembangun fondasinya.
Sebagai contoh, seorang pelancong tidak akan menganggap suatu bentang alam sebagai seni,
meskipun terasa indah dan memancing emosi ketika melihatnya. Keindahan tersebut bisa saja
memnatik ide dalam berkesenian, namun asal muasalnya yang tidak manusiawi membuat ia tak
dapat dianggap sebagai seni.
Pendapat lain menyatakan bahwa, tak berbeda dengan kuas atau ahat, keterlibatan AI di
dunia seni rupa tak lebih dari alat yang digunakan dalam proses berkensian seorang seniman.
Dengan kata lain, mereka yang terlibat dalam proses pembuatan AI itulah senimannya, dan apapun
yang dihasilkan oleh AI, atau bahkan AI-nya itu sendiri adalah karya dari para seniman tersebut.
Sebagai contoh, seorang penulis dan programmer, Ross Goodwin menggunakan AI untuk
membuat cerita fiksi, puisi, dan skenario film melalui algoritme yang memprediksi pola bahasa.
Salah satu bukunya yang berjudul “1 The Road” dibuat dengan memasukkan data visual,
gelombang suara, dan jejak lokasi untuk menyusun kisah perjalanan naratif. Goodwin menganggap
bahwa dalam kasus ini, pembacalah yang bertindak sebagai penulisnya sebab tulisan ini tidak
dihasilkan dari intensi manusiawi dan kerenanya pembaca dapat memproyeksikan makna dan rasa
berdasarkan interpretasinya masing-masing.
Terlepas dari diskursus yang masih terus bergulir, beragam penelitian dan eksperimen
masih terus dilakukna untuk menemukan sampai sejauh mana mesin dapat memfabrikasi
karakteristik yang diperlukan dalam menghasilkan sebuah karya seni. Paling tidak, seniman
seniman di masa yang akan datang perlu menyadari potensi penggunaan AI dalam proses berkesian
mereka. Lagipula, kendatipun mesin barangkali memang tak akan pernah dianggap menghasilkan
produk seni yang dianggap sebagai karyanya, menjaga relevansi dengan isu terkini adalah
keharusan bagi seniman, termasuk dengan melibatkan AI dalam proses berkesenian mereka.