Kantor Pajak Incar Penerimaan dengan Jurus 3C

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerapkan banyak strategi dalam mencapai penerimaan pajak yang optimal. otoritas pajak melalui digitalisasi layanan terus mengejar penerimaan meski pandemi virus corona menghambat ekonomi.

Salah satunya melalui layanan Click, Call, Counter atau disebut 3C. Strategi 3C ini menjadi andalan kantor pajak di masa pandemi ini.

Apa itu Strategi 3C?

Strategi 3C merupakan manifestasi digitalisasi seluruh layanan DJP agar mudah diakses oleh wajib pajak.  Wajib pajak bisa mengakses hanya lewat situs web dan telepon. Jika pelayanan tidak tertangani barulah wajib pajak dapat mengunjungi ke kantor pajak setempat.

Otoritas pajak mengklaim, 3C akan menghemat waktu, biaya, dan tenaga buat wajib pajak dan DJP sendiri. Adapun, masing-masing unsur dalam 3C dapat dijelaskan sebagai berikut.

Click merupakan setiap kegiatan pelayanan perpajakan yang dilakukan secara otomatis melalui mesin baik melalui situs web, aplikasi mobil, atau layanan lainnya tanpa melalui bantuan petugas pajak.

Call merupakan setiap kegiatan pelayanan perpajakan yang dapat dilakukan melalui situs web, aplikasi mobil, telepon ke pusat kontak (contact center), ataupun layanan lainnya yang dilakukan secara semi-otomatis dengan bantuan pusat kontak sebagai pendukung layanan (back office).

Counter merupakan setiap kegiatan pelayanan perpajakan yang dilakukan secara manual melalui Kantor Pelayanan Pajak maupun Kantor Wilayah DJP.

Penerapan 3C ini dilatarbelakangi kondisi sebagian besar layanan DJP saat ini yang belum ada di situs web dan aplikasi mobil,” dicuplik dari dokumen laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Periode November 2020, Rabu (23/12).

Jumlah layanan

Rencananya, akan ada 132 layanan DJP yang akan digitalisasi sejak 2019 sampai 2024 nanti. Rinciannya terdiri dari 59 layanan otomatis, 50 layanan dengan dukungan pusat kontak, serta 32 layanan yang menggunakan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) maupun Kantor Wilayah (Kanwil) DJP sebagai pendukung layanannya.

Sampai akhir 2020, sudah terdapat 46 layanan yang terdigitalisasi. Semuanya merupakan layanan yang terotomatisasi secara penuh tanpa ada campur tangan petugas pajak.

Kememkeu menginformasikan telah menyusun lini masa program kerja 3C dari tahun ke tahun. Salah satunya, penerapan teknologi voice biometrics untuk keamanan dan kerahasiaan data wajib pajak. Teknologi ini merupakan teknologi canggih untuk memudahkan proses autentikasi suara dalam panggilan telepon.

Di tahun terakhir, yakni pada 2024 nanti seluruh layanan DJP akan bertumpu pada sistem otomatis dengan pusat kontak sebagai pendukung layanan. Kemenkeu mengisyaratkan setidaknya ada manfaat manfaat digitalisasi layanan DJP selain efektivitas dan efisiensi.

Manfaat digitalisasi DJP

Pertama, pengembangannya disesuaikan dengan kebutuhan proses bisnis pelayanan di DJP serta mengikuti perkembangan teknologi.

Kedua, biaya pengembangan awal yang lebih dapat direalisasikan dan memaksimalkan teknologi perpajakan terkini melalui sinkronisasi dengan Core Tax Administration System (CTAS).

Perlu dicermati, Kemenkeu telah membentuk Tim Pelaksana Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Salah satu tugasnya yaitu mengadakan sistem informasi DJP yang baru dan andal. Sistem baru ini akan menggantikan sistem informasi yang dimiliki DJP saat ini dan telah usang.

Ketiga, implementasi digitalisasi layanan dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih cepat dengan mengedepankan efisiensi biaya pada organisasi dan pengguna layanan. 

Keempat, meningkatkan kepuasan pengguna layanan perpajakan, kepatuhan wajib pajak, dan menyederhanakan administrasi perpajakan.  

Kelilma, memberikan keseragaman kebijakan pelayanan perpajakan memudahkan pengawasan penyelesaian permohonan wajib pajak, dan memberikan pilihan kepada pengguna layanan dalam kondisi tertentu.

Berdasarkan data APBN 2020 hingga akhir November realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 925,3 triliun. Angkat tersebut baru mencapai 76,8% dari target akhir tahun yang telah diamatkan dalam Perpres 72/2020 sebesar Rp 1.198,8 triliun.

Secara rinci hingga November 2020, komponen penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas sebesar Rp 29,2 triliun, kontraksi hingga 44,8% dibandingkan realisasi di periode sama tahun lalu senilai Rp 52,8 triliun. Sementara, pajak non-migas sepanjang Januari-November 2020 realisasinya sebesar Rp 896,2 triliun, tumbuh minus 17,3% year on year (yoy).