Membangun Kepercayaan pada Artificial Intelligence

Kecerdasan buatan, Artificial Intelligence atau disingkat AI bukan lagi masa depan, tetapi sudah ada di kehidupan kita seperti pada ruang keluarga, mobile dan saku kita. Semakin berkembangnya teknologi, menjadi pertanyaan “Sampai di tingkatan mana kepercayaan kita? dan apakah kepercayaan ini harus kita tempatkan pada sistem kecerdasan buatan?” Dalam membahas pertanyaan tersebut, menurut saintis AI membutuhkan menanamkan rasa moralitas, transparansi dan menyediakan edukasi tentang peluang AI untuk bisnis dan konsumen. Selain itu, usaha ini harus dijalankan dengan kolaboratif dari berbagai disiplin, industri dan pemerintah.

Menanamkan Nilai Kemanusiaan dalam AI
Kekhawatiran muncul ketika manusia dapat mempercayai bahwa AI mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan. Contoh kasus yang sering dijadikan studi ketika AI memutuskan keputusan moral, ketika bis berusaha menghindari tabrakan, namun ketika belok kiri akan menabrak bayi kita belok kanan akan menabrak orang tua maka apa yang harus dilakukan AI? Hal ini harus disadari penuh tanpa adanya program yang layak mana akan menimbulkan bias. Mesin dapat menjadi bias ketika data set yang dilatih tidak merepresentasikan apa ingin dilatih, kejadian itu bisa tidak disengaja karena adanya kesalahan dalam memilih data set tetapi, dapat juga disengaja disebabkan oleh serangan malicious yang merusak data set yang dapat membuat hasil menjadi bias.

Menurut Gabi Zijderveld, Head of Product Strategy dan Marketing Affectiva mencegah bias data dapat dilakukan sebagian besar upaya manual, dalam organisasinya ketika mengukur respon konsumen terhadap materi marketing menggunakan facial recognition mereka menggunakan beberapa set gambar dari 75 negara berbeda untuk melatih data contohnya ketika dalam masyarakat di salah satu negara melakukan emosi senyuman yang kurang menonjol sebenarnya menyampaikan pesan kebahagiaan di tempat lain. Gabi dan organisasinya melabeli semua gambar yang ditangkap menggunakan tangan dan melakukan tes pada algoritma untuk mendapatkan akurasi. Menanamkan moralitas pada AI menjadi kompleks karena menimbulkan pertanyaan “nilai apa yang seharusnya dipakai?” sampai saat ini belum terpecahkan.

Harfiah Nya komputer tidak dapat disandingkan dengan manusia, contohnya kasusnya ketika pelanggan masuk ke dalam supermarket dan menemui kasir sebagai manusia, kasir tersebut mengusahakan pelanggan yang datang untuk membeli produk dengan menggunakan emosi, kadang kita sebagai pelanggan menerima emosi tersebut hal ini selama bertahun-tahun tidak tergantikan, tapi apakah jika kasir tersebut digantikan dengan komputer akan menghasilkan hasil yang sama?

Membuat Transparansi
Percaya kepada keputusan komputer manusia harus mengetahui bagaimana komputer menyimpulkan dan memberikan rekomendasi. Tetapi beberapa AI sudah dapat menyajikan dalam bentuk teks bagaimana sistem menarik kesimpulan. Developer aplikasi AI juga harus transparan mengenai hal apa saja yang dilakukan ketika sistem berinteraksi dengan manusia, apakah dapat “melihat” wajah kita untuk membaca ekspresi. Menurut para ahli sistem AI pun harus memiliki kemampuan untuk mematikan beberapa fungsi kapanpun pengguna mau. Sama halnya dengan berbagi lokasi pada aplikasi, pengguna seharusnya mempunyai kontrol lebih karena dalam hal-hal tertentu memberikan manfaat jelas, sementara pada kasus lainnya manfaatnya tidak cukup signifikan. Hal ini seringkali dijadikan permasalahan dalam hal privasi bahwa setiap pengguna harus dapat membuat pilihan mereka sendiri.

Transparansi Melalui Pendidikan
Memberikan transparansi mengenai kesalahpahaman AI bisa dilakukan melalui pendidikan, jadi kejelasan informasi dapat tersampaikan. Misi penting untuk mendidik orang mengenai gangguan yang akan terjadi dan mengajarkan keterampilan AI adalah untuk membekali kebutuhan pekerjaan baru di masa depan. Di bagian bidang pekerjaan ahli berpendapat jika pendapat atau masukan manusia masih akan dibutuhkan dan seringkali menjadi hal yang berharga. 

Kolaborasi untuk Kemajuan AI
Manfaat dari AI sangatlah besar tetapi mengembangkan dan menyebarkan teknologi secara bertanggung jawab haruslah dengan proporsi yang sama yang berarti segelintir organisasi tidaklah cukup tetapi dibutuhkan kolaborasi yang signifikan di seluruh lini akademisi, industri dan pemerintahan. Ini merupakan sebuah tantangan untuk membangun kepercayaan diantara lini atau sektor.